![]() | ![]() |
Cara Menonton Film Di Situs Kami
- Klik "SKIP TRAILER" untuk melewati trailer.
- Klik tombol ▶️ pada player untuk memulai film.
- Gunakan Server 2 atau 3 jika player lambat.
- Bookmark situs kami agar mudah diakses kembali.
Resurrection (2015) (Horror) Rating 5.2 – IDLIX

Seorang imam muda pergi ke Buenos Aires untuk membantu orang sakit selama wabah demam kuning tahun 1871.
Tonton juga film: Lisa Frankenstein (2024) iLK21
Ini juga keren: Nonton Ravenswood 2017 - Nonton Alpha Rift 2021 - Nonton Tankhouse 2022 - Nonton American Carnage 2022 - Nonton Fugue 2018
Ulasan untuk Resurrection (2015)
Ulasan Film: Resurrection (2015) Dalam lanskap sinema horor kontemporer, sering kali kita dihadapkan pada sajian yang mengandalkan kejutan jump-scare murahan atau darah kental semata. Namun, sesekali muncul sebuah karya yang berani menapaki jalur berbeda, merangkai ketakutan dari akar psikologis dan atmosfer yang mencekam. "Resurrection (ResurrecciĂłn)" dari Argentina, dirilis pada tahun 2015, adalah salah satu film yang berhasil melakukan hal tersebut. Film ini membawa kita kembali ke akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1899 di Buenos Aires, di tengah kepungan wabah demam kuning yang mematikan. Ini bukan sekadar latar belakang, melainkan elemen vital yang menyelimuti seluruh narasi dengan perasaan kematian, keputusasaan, dan isolasi. Kisah berpusat pada seorang pemuda yang sedang dalam pelatihan seminari. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah keluarga lamanya yang besar dan terpencil, di tengah situasi kota yang genting. Keputusannya ini didorong oleh kabar buruk mengenai kondisi keluarganya yang tidak sehat. Sekembalinya ke sana, ia menemukan rumah itu tidak lagi sama seperti yang ia ingat. Suasana mencekam, sepi, dan dipenuhi aura yang tidak menyenangkan. Dinding-dinding tua seolah menyimpan rahasia kelam, dan setiap sudutnya seperti bernapas dengan kehidupan yang asing. Dari sinilah, perlahan namun pasti, serangkaian kejadian aneh dan mengganggu mulai terkuak, menguji kewarasan dan imannya. Salah satu kekuatan utama "Resurrection" terletak pada kemampuannya membangun suasana visual. Sinematografi dalam film ini layak diacungi jempol. Setiap bidikan kamera terasa disengaja, menangkap keindahan sekaligus kengerian dari rumah tua yang terbengkalai. Pencahayaan yang remang-remang, palet warna yang didominasi nuansa kelabu dan cokelat tua, serta desain set yang detail berhasil menciptakan atmosfer Gothic yang kuat dan mencekam. Rumah itu sendiri menjadi karakter sentral, seolah berdenyut dengan energi jahatnya sendiri. Anda bisa merasakan debu dan kelembapan yang melekat di udara, bau kematian yang merangkak dari setiap lorong, dan perasaan terperangkap dalam sangkar emas yang membusuk. Nuansa visual ini tidak hanya enak dipandang tetapi juga secara efektif menenggelamkan penonton ke dalam dunia yang kelam dan putus asa, membuatnya semakin mudah merasakan ketakutan yang dialami sang tokoh utama. Tensi cerita dalam film ini dibangun dengan sangat hati-hati. Ia tidak mengandalkan jump-scare yang berlebihan, melainkan memilih pendekatan *slow-burn* yang menggigit. Ketegangan merayap perlahan, bersembunyi di balik bayangan, di antara bisikan angin, dan di setiap tatapan para penghuni rumah. Konflik internal sang pemuda, yang bergulat antara keyakinan spiritualnya dan kenyataan mengerikan di sekelilingnya, menjadi poros utama yang menarik. Film ini berhasil membuat penonton terus bertanya-tanya, apakah kejadian-kejadian tersebut adalah manifestasi dari hal supernatural, ataukah hanya ilusi yang tercipta dari kegilaan, duka, dan tekanan wabah? Ambiguitas inilah yang menjaga tensi tetap tinggi hingga akhir, membuat setiap adegan terasa tidak nyaman dan penuh antisipasi. Pembahasan mengenai akting adalah bagian krusial dari keberhasilan film semacam ini. "Resurrection" beruntung memiliki jajaran pemeran yang mumpuni, yang mampu menghidupkan karakter-karakter mereka dengan kedalaman emosi yang luar biasa. Pertama, mari kita bahas penampilan Ana Fontán. Ia berhasil membawakan karakternya dengan kekuatan yang tenang namun berbekas. Ada semacam kesedihan yang mendalam dan kelelahan yang tergambar jelas di setiap ekspresi wajahnya, namun sekaligus juga ada ketegaran yang tersirat. Ia tidak perlu banyak dialog untuk menyampaikan perasaannya; tatapan matanya, gestur tubuhnya yang ringkih, sudah cukup untuk menggambarkan beban yang dipikulnya. Penampilannya terasa sangat autentik, membuat penonton bisa merasakan empati terhadap penderitaannya dan memahami kompleksitas situasinya tanpa banyak penjelasan verbal. Kemudian, ada MartĂn Slipak yang memerankan tokoh sentral dalam cerita ini. Penampilannya sangat memukau dan krusial bagi narasi film. Ia dengan sangat baik menggambarkan perjalanan karakternya dari seorang pemuda yang penuh keyakinan menjadi individu yang perlahan-lahan terkikis kewarasannya oleh teror yang dihadapinya. Ekspresi ketakutan, kebingungan, dan keputusasaan yang ia tunjukkan terasa begitu nyata. Penonton diajak untuk merasakan setiap keraguan, setiap ketegangan psikologis yang ia alami. Transformasi emosionalnya adalah jangkar bagi film ini, membuat kita ikut merangkak di ambang batas antara nalar dan kegilaan bersamanya. Terakhir, Patricio Contreras memberikan sentuhan berkelas pada film ini. Meskipun mungkin bukan tokoh dengan screentime paling banyak, kehadirannya sangat kuat dan meninggalkan kesan mendalam. Ia memiliki kemampuan untuk memerankan karakternya dengan aura misteri dan otoritas yang mengintimidasi. Ada semacam kebijaksanaan yang gelap atau pengalaman hidup yang berat terpancar dari sorot matanya dan caranya berbicara. Penampilannya menambahkan lapisan kompleksitas dan nuansa ancaman yang halus, membuat setiap adegannya terasa penting dan sarat makna. Secara keseluruhan, kualitas akting dari Ana Fontán, MartĂn Slipak, dan Patricio Contreras berkontribusi sangat besar pada kesuksesan "Resurrection". Mereka tidak hanya sekadar memerankan karakter, tetapi juga menghirup jiwa ke dalamnya, menjadikannya pribadi yang terasa nyata dan mudah dipercaya di tengah situasi yang fantastis. Keseimbangan antara akting yang emosional dari Slipak, ketenangan yang pilu dari Fontán, dan aura misterius dari Contreras, menciptakan dinamika yang kaya dan meyakinkan. Tanpa penampilan mereka yang kuat, atmosfer mencekam dan tensi psikologis yang dibangun film ini tidak akan terasa begitu efektif dan mendalam. Mereka adalah tulang punggung emosional yang menopang seluruh narasi, membuat ketakutan yang disajikan terasa lebih nyata dan personal. Tema besar yang diusung film ini sangat relevan dengan latar belakang dan konflik karakternya. "Resurrection" secara cerdas mengeksplorasi tema-tema seperti iman dan keraguan, kegilaan dan kewarasan, serta bagaimana trauma dan duka yang tak terungkap dapat menghantui sebuah keluarga atau bahkan sebuah tempat. Wabah demam kuning yang menjadi latar belakang tidak hanya menambah elemen keputusasaan eksternal, tetapi juga menjadi metafora untuk wabah internal yang menggerogoti jiwa dan hubungan di dalam rumah tersebut. Film ini mempertanyakan batas antara penyakit fisik dan mental, antara kenyataan dan persepsi, menjadikan penonton ikut terjebak dalam teka-teki yang menghantui. Meskipun film ini memiliki pace yang cukup lambat di beberapa bagian, hal itu justru menjadi kekuatan karena memungkinkan ketegangan untuk meresap secara organik. Bagi penggemar horor yang lebih menyukai kedalaman psikologis dan atmosfer yang kental daripada kesadisan eksplisit, "Resurrection" adalah tontonan yang wajib. Film ini menunjukkan bahwa horor sejati sering kali berasal dari apa yang tidak terlihat, dari bisikan masa lalu, dan dari bayang-bayang yang bersembunyi di dalam diri kita sendiri. Sebuah perjalanan yang gelap dan membingungkan, namun juga memikat secara sinematis. Skor akhir: 6.1 dari 10
Sumber film: Resurrection (2015)