Edvard Munch adalah salah satu seniman terpenting pada peralihan abad ke-19 dan ke-20. Motifnya “Skrik” (The Scream), yang diulang dalam berbagai teknik, menjadi bagian dari alam bawah sadar dunia abad ke-20 – sebuah gambaran ketakutan dan kesepian yang mungkin sudah dikenali kebanyakan orang, bahkan tanpa mengetahui siapa penciptanya. Homeless Ashes (2019) iLK21Ini juga keren: Nonton […]
Luxury138Luxury138
Cara Menonton Film Di Situs Kami
  • Klik "SKIP TRAILER" untuk melewati trailer.
  • Klik tombol ▶️ pada player untuk memulai film.
  • Gunakan Server 2 atau 3 jika player lambat.
  • Bookmark situs kami agar mudah diakses kembali.

Munch (2023) (Drama) Rating 5.9 – IDLIX

IMDB Rated: 5.9 / 10
Original Title : Munch
5.9 835

Edvard Munch adalah salah satu seniman terpenting pada peralihan abad ke-19 dan ke-20. Motifnya “Skrik” (The Scream), yang diulang dalam berbagai teknik, menjadi bagian dari alam bawah sadar dunia abad ke-20 – sebuah gambaran ketakutan dan kesepian yang mungkin sudah dikenali kebanyakan orang, bahkan tanpa mengetahui siapa penciptanya.

Ulasan untuk Munch (2023)

✍️ Ditulis oleh Dian Anggraini

Jika ada satu seniman yang karyanya mampu menembus batas visual dan langsung menyentuh relung emosi paling dalam, itu adalah Edvard Munch. Dan film 'Munch (2023)' ini berhasil melakukan hal yang serupa. Ini bukan sekadar biopik linear yang menyoroti setiap tanggal penting dalam hidup sang pelukis, melainkan sebuah penyelaman sinematik yang berani ke dalam jiwa seorang jenius yang tersiksa, yang berjuang melawan kegelapan pribadi dan pada akhirnya mengubahnya menjadi mahakarya abadi. Dari menit pertama, saya langsung dibawa masuk ke dalam pusaran emosi yang kompleks. Suasana visual dalam film ini adalah salah satu kekuatannya yang paling mencolok. Sinematografi bermain dengan cahaya dan bayangan, terkadang menghadirkan palet warna yang suram dan dingin, mencerminkan melankoli dan kecemasan yang sering digambarkan Munch dalam lukisannya. Namun di saat lain, ada kilasan warna yang cerah dan tajam, seolah menggambarkan ledakan kreativitas atau momen-momen pencerahan singkat. Ini bukan visual yang nyaman, justru seringkali terasa intens dan menggigit, persis seperti melihat sebuah lukisan Munch di kanvas. Produksi desain dan kostum juga patut diacungi jempol karena berhasil menciptakan kembali era di mana Munch hidup dengan detail yang meyakinkan, tanpa terasa artifisial. Semua elemen ini berpadu untuk menciptakan sebuah atmosfer yang imersif, seolah kita benar-benar mengintip ke dalam dunia sang seniman. Tensi cerita terbangun dengan sangat baik, bukan melalui plot twist yang mengejutkan, melainkan melalui eksplorasi mendalam terhadap kondisi psikologis Munch. Film ini memiliki pendekatan naratif yang cerdas, tidak takut untuk melompat antar waktu dan periode kehidupan Munch, bahkan menggunakan beberapa aktor untuk memerankan sang pelukis di fase yang berbeda. Pendekatan ini mungkin terasa tidak konvensional, tetapi justru inilah yang membuat film ini terasa segar dan dinamis. Ini memungkinkan kita melihat benang merah emosional dan tematik yang menghubungkan berbagai periode kehidupannya, dan bagaimana pengalaman-pengalaman pahit—mulai dari penyakit, kehilangan, hingga tekanan sosial—membentuk visinya yang unik. Setiap adegan terasa memiliki bobot emosional, membangun sebuah narasi yang padat dan penuh makna, tanpa perlu terburu-buru. Sekarang mari kita bicara tentang akting, yang menjadi tulang punggung dalam upaya ambisius ini. Para aktor yang memerankan Munch di berbagai fase kehidupannya berhasil membawakan karakter tersebut dengan sangat meyakinkan. Pertama, Alfred Ekker Strande yang memerankan Munch di usia mudanya. Penampilannya sungguh memukau. Ia berhasil menangkap esensi seorang pemuda yang berapi-api, penuh gairah, tetapi juga rapuh dan dihantui oleh ketidakpastian. Ada intensitas dalam tatapan matanya yang menggambarkan ambisi artistik yang membara sekaligus kecemasan eksistensial. Ia menunjukkan bagaimana benih-benih penderitaan dan kejeniusan mulai tumbuh, membentuk fondasi kepribadian kompleks sang seniman. Aktingnya terasa mentah dan jujur, berhasil membuat penonton bersimpati pada perjuangan awal Munch. Kemudian, Mattis Herman Nyquist mengambil alih peran di masa-masa puncak karier dan pergulatan emosionalnya. Nyquist membawa kedalaman dan kematangan yang berbeda. Ia menggambarkan sosok yang lebih sarat pengalaman, yang sudah merasakan pahit manisnya hidup dan pengakuan. Ada nuansa kelelahan dan kesendirian yang terpancar jelas dari aktingnya, menunjukkan beban dari bakat luar biasa yang ia miliki. Ia berhasil menyoroti konflik batin yang terus berkecamuk, bagaimana kesuksesan eksternal tidak selalu sejalan dengan kedamaian internal. Penampilannya terasa kuat dan penuh gejolak. Terakhir, Ola G. Furuseth memerankan Munch di masa tuanya. Furuseth memberikan penampilan yang bijaksana dan reflektif. Ia menunjukkan seorang pria yang telah melalui badai kehidupan, yang mungkin telah menemukan semacam penerimaan atau setidaknya pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya dan seninya. Ada keheningan yang kuat dalam aktingnya, yang mengisyaratkan kebijaksanaan yang diperoleh dari penderitaan. Ia menggambarkan Munch sebagai sosok yang damai namun masih membawa jejak-jejak masa lalu yang kelam, seolah lukisan-lukisannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kulitnya. Secara keseluruhan, kontribusi akting dari ketiga aktor ini adalah salah satu alasan terbesar kesuksesan film ini. Mereka tidak hanya memerankan satu karakter, melainkan sebuah evolusi karakter yang kompleks dan multi-dimensi. Setiap aktor membawa nuansa dan energi yang unik untuk periode kehidupan yang berbeda, tetapi secara kolektif, mereka menciptakan gambaran yang kohesif dan meyakinkan tentang perjalanan hidup Munch. Mereka berhasil menangkap esensi jiwa sang seniman, dari kerentanan masa muda hingga kebijaksanaan usia tua, membuat kita merasa benar-benar mengenal dan memahami sang seniman di berbagai tahapan kehidupannya. Pendekatan ini adalah sebuah taruhan yang berhasil, memperkaya narasi dan memberikan dimensi yang lebih dalam pada karakter utama. Tema besar yang diangkat oleh 'Munch (2023)' sangat relevan dengan kehidupan sang pelukis dan karyanya. Film ini membahas tentang beban kejeniusan, bagaimana bakat luar biasa seringkali datang dengan harga yang mahal berupa penderitaan dan isolasi. Ini juga merupakan eksplorasi mendalam tentang kesehatan mental, menunjukkan bagaimana kecemasan, depresi, dan trauma dapat menjadi pendorong di balik kreativitas, sekaligus menjadi beban yang harus ditanggung. Hubungan manusia, cinta, kehilangan, dan kematian—semua elemen ini ditenun ke dalam kain naratif, menegaskan bahwa seni Munch adalah cerminan langsung dari pengalaman pribadinya. Film ini dengan berani menggarisbawahi bagaimana seni bisa menjadi katarsis, sebuah cara untuk memproses dan mengubah penderitaan menjadi sesuatu yang indah dan universal. 'Munch (2023)' bukan hanya sekadar film tentang seorang pelukis; ini adalah sebuah karya seni itu sendiri. Ini adalah undangan untuk merenung tentang seni, kehidupan, dan hubungan kompleks di antara keduanya. Bagi siapa pun yang tertarik pada seni, psikologi manusia, atau sekadar ingin menyaksikan sebuah penceritaan yang berani dan mendalam, film ini sangat direkomendasikan. Ini adalah sebuah potret yang jujur dan tanpa kompromi tentang salah satu seniman paling berpengaruh dalam sejarah. Nilai: 7.8/10
Sumber film: Munch (2023)