![]() | ![]() |

Cara Menonton Film Di Situs Kami
- Klik "SKIP TRAILER" untuk melewati trailer.
- Klik tombol ▶️ pada player untuk memulai film.
- Gunakan Server 2 atau 3 jika player lambat.
- Bookmark situs kami agar mudah diakses kembali.
Nonton When Women Rule the World (2020) Sub Indo - iLK21 Ganool

Four young people get sucked into a time bending vortex to an apocalyptic future where women rule the earth.
Tonton juga film: About Fate (2022) iLK21
Ini juga keren: Nonton Pawn Sacrifice 2014 - Nonton Getaway Plan 2016 - Nonton Night At The Museum Battle Of The Smithsonian 2009 - Nonton Breakout Brothers 3 2022 - Nonton Final Set 2020
Ulasan untuk When Women Rule the World (2020)
Judul film "When Women Rule the World" sendiri sudah cukup untuk memancing rasa penasaran. Premis tentang dunia di mana kekuasaan didominasi oleh perempuan, dan bagaimana tatanan masyarakat dibentuk oleh dinamika tersebut, selalu menawarkan ruang eksplorasi yang menarik. Film ini mencoba menyelami skenario hipotetis itu, mengajak penonton membayangkan sebuah realitas alternatif yang sarat dengan pertanyaan seputar gender, kekuasaan, dan hakikat sebuah masyarakat ideal. Sejak awal, film ini ingin menciptakan sebuah semesta yang unik, jauh dari gambaran dunia yang biasa kita kenal. Secara visual, "When Women Rule the World" memang memiliki ambisi besar. Desain produksi berusaha keras untuk menghadirkan nuansa berbeda, mulai dari arsitektur, kostum, hingga elemen-elemen kehidupan sehari-hari. Ada upaya yang patut diapresiasi dalam membangun atmosfer ini, meskipun tidak semua elemen terasa kohesif. Beberapa adegan berhasil memancarkan estetika yang menawan, menciptakan kesan dunia yang futuristik sekaligus primitif. Namun, di beberapa bagian lain, visualnya terasa kurang konsisten, seolah-olah berbagai ide yang menarik tidak sepenuhnya menyatu dalam satu visi yang utuh. Ada kalanya kita merasa terhanyut, namun tak jarang pula kita merasa visualnya kurang solid untuk menopang narasi yang ada. Tensi cerita dalam film ini terasa seperti gelombang pasang surut. Film ini mencoba untuk membangun konflik dan drama yang mendalam, berlandaskan pada filosofi di balik dunia matriarkal yang digambarkannya. Ada momen-momen di mana plot terasa bergerak maju dengan intrik yang cukup menarik, memunculkan pertanyaan tentang keadilan, pemberontakan, dan perjuangan individu di tengah sistem yang mapan. Namun, tidak semua titik pemicu ketegangan berhasil dipelihara dengan baik. Ada beberapa alur yang terasa kurang dikembangkan, membuat potensi dramatisnya tidak sepenuhnya tergali. Pacing-nya kadang terasa lambat, dan transisi antar adegan atau babak cerita bisa menjadi sedikit tersendat, mengurangi aliran narasi yang seharusnya lebih mulus. Akibatnya, meskipun ada gagasan besar yang ditawarkan, eksekusi cerita tidak selalu berhasil mempertahankan bobot emosional dan intelektual yang dibutuhkan, membuat penonton kadang merasa sedikit terputus dari perjalanan karakter. Bagian yang tak kalah krusial tentu adalah kualitas akting para pemeran. Mari kita bedah satu per satu. Anna Hera hadir dengan sebuah peran yang menuntut eksplorasi emosi yang kompleks. Dalam beberapa adegan, ia berhasil menangkap esensi kerentanan dan kekuatan karakternya dengan meyakinkan. Ada momen di mana tatapan matanya atau gestur kecilnya mampu menyampaikan lebih banyak daripada dialog. Anna Hera menunjukkan dedikasi dalam perannya, berusaha keras untuk menghidupkan karakter di tengah struktur cerita yang kadang kurang stabil. Ia memiliki potensi yang menarik, namun terkadang terlihat bergulat dengan naskah yang mungkin tidak memberinya cukup ruang untuk benar-benar bersinar konsisten. Performa terbaiknya terlihat saat ia berinteraksi dengan karakter lain dalam konflik personal yang lebih intim. Kemudian ada Chris Gooch, yang perannya di film ini memberikan perspektif yang berbeda. Ia mencoba untuk menghadirkan nuansa tertentu pada karakternya, yang mungkin bertindak sebagai penyeimbang atau elemen pemicu dalam dunia yang digambarkan. Chris Gooch menunjukkan upaya untuk membawa kedalaman pada karakternya, terutama dalam adegan-adegan yang membutuhkan ekspresi internal. Meskipun demikian, terkadang performanya terasa sedikit kaku atau kurang dinamis, membuat karakternya tidak selalu meninggalkan kesan yang kuat. Ada beberapa adegan di mana ia berhasil menonjolkan aspek-aspek tertentu, namun secara keseluruhan, konsistensi emosionalnya bisa dibilang belum maksimal. Terakhir, Francisco DeCun mengisi perannya dengan mencoba memberikan gravitas. Ia memiliki kehadiran layar yang cukup kuat, dan dalam beberapa momen, berhasil menempatkan karakternya sebagai figur yang memiliki pengaruh. Francisco DeCun berusaha keras untuk menyampaikan motivasi dan keyakinan karakternya, meskipun terkadang ekspresi dan penyampaiannya terasa agak datar. Potensinya untuk menjadi karakter yang lebih berkesan terlihat, namun eksekusi dari naskah atau arahan mungkin tidak sepenuhnya mendukungnya untuk mencapai titik tersebut. Aktingnya cukup kompeten, tetapi belum mampu mengangkat materi di atas standar rata-rata. Secara keseluruhan, kontribusi akting para pemain utama dalam "When Women Rule the World" bisa dikatakan cukup beragam. Masing-masing aktor menunjukkan upaya untuk menghadirkan performa yang baik, dan ada momen-momen individual yang patut diacungi jempol. Namun, di film ini, tampak bahwa para aktor bergulat dengan naskah dan mungkin arahan yang tidak selalu memberikan fondasi yang kuat. Potensi mereka terasa belum sepenuhnya tergali, dan inkonsistensi dalam pengembangan karakter serta plot membuat akting mereka, terlepas dari usaha masing-masing, tidak selalu berhasil berkontribusi maksimal pada kesuksesan film secara keseluruhan. Akting yang kuat bisa menyelamatkan film dengan naskah lemah, namun di sini, akting mereka hanya mampu menopang film pada titik tertentu, bukan mengangkatnya secara signifikan. Tema besar yang diusung oleh film ini, yaitu tentang struktur kekuasaan berbasis gender, implikasi sosial dari dominasi satu jenis kelamin, dan pencarian akan keadilan atau keseimbangan, jelas merupakan kekuatan utama yang membuat film ini menarik di atas kertas. Film ini mencoba untuk mengajukan pertanyaan filosofis tentang bagaimana masyarakat dibentuk, apakah dominasi oleh satu gender akan menciptakan surga atau malah distopia, dan di mana posisi kebebasan individu dalam sistem tersebut. Ini adalah tema yang relevan dan penting untuk dieksplorasi. Namun, eksplorasi tema tersebut terasa kurang mendalam dan cenderung permukaan. Ada banyak peluang untuk membahas kompleksitas psikologis dan sosiologis, tetapi film ini seringkali hanya menyentuh permukaannya, gagal menggali ke inti permasalahan dengan bobot yang substansial. Gagasan besar ini terasa belum sepenuhnya matang dalam penyampaian narasi. Sebagai kesimpulan, "When Women Rule the World" adalah film yang patut diapresiasi karena ambisi tematik dan visualnya. Ide dasar tentang dunia yang diatur oleh perempuan adalah premis yang menarik dan membuka banyak ruang untuk perenungan. Film ini mencoba untuk membangun dunia yang berbeda dan mengajukan pertanyaan penting. Namun, pada akhirnya, eksekusi dalam hal narasi, pengembangan karakter, dan konsistensi visual belum mampu menopang ambisi tersebut sepenuhnya. Akting para pemerannya, meskipun menunjukkan usaha, juga belum berhasil sepenuhnya mengangkat materi yang mungkin kurang solid. Film ini terasa seperti sebuah eksperimen yang memiliki visi, tetapi kurang berhasil dalam merealisasikannya secara sempurna, meninggalkan kesan bahwa ada banyak potensi yang belum terjamah. Skor akhir: 4.5/10
Sumber film: When Women Rule the World (2020)
Genre:Comedy, Science Fiction
Actors:Anna Hera, Chris Gooch, Francisco DeCun
Directors:Sheldon Silverstein